Perkembangan Politik dan Ideologis Sarekat Islam Bagian Dua: Transformasi dan Pengaruhnya (1930–1940)
Langkah strategis yang diambil oleh Tjokroaminoto menunjukkan hasil yang sangat signifikan. Dalam beberapa tahun setelah ia muncul di kancah politik, ia berhasil mengguncang seluruh lapisan masyarakat dan membuat panik para pejabat Belanda dengan gelombang tuntutan perubahan di berbagai aspek kehidupan. Situasi politik yang terus berkembang positif cenderung mendukungnya. Berbagai lapisan masyarakat berteriak menuntut kebebasan, kesetaraan hak, dan pemerintahan mandiri. Dengan kata lain, Tjokroaminoto telah menyatukan potensi dan komponen bangsa menuju era baru, yaitu era kemerdekaan.
Thomas McVey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism menyatakan bahwa pada tahun 1918, kalangan Sarekat Islam memberikan perhatian khusus pada perjuangan di bidang ekonomi akibat situasi ekonomi yang buruk pasca Perang Dunia I. Pada tahun itu, di Dewan Rakyat, SI mendesak pemerintah untuk mengurangi lahan penanaman tebu dan memberi tempat bagi penanaman padi untuk mengatasi ancaman kelaparan. Hal ini juga menjadi alasan bagi para petani dan pekerja lainnya untuk memperkuat tuntutan mereka melalui serikat-serikat mereka agar kehidupan mereka lebih diperhatikan dan diperbaiki.
S.M. Kartosuwirjo dalam brosur Hijrah memberikan analisis kualitatif terhadap pergerakan SI selama periode 1912–1923 sebagai Zaman Qauliyah, dengan ciri-ciri berikut:
- Pada masa awal, PSII mengalami kehidupan yang materialistis.
- Orang hanya mementingkan kebutuhan duniawi.
- Pergerakan pada waktu itu hidup sebagai alat untuk mencari keuntungan materi.
- Tidak sadar dan tidak insaf akan Islam dan ke-Islaman sejati.
- Lebih mementingkan kata-kata daripada tindakan.
- Menghargai penampilan luar daripada isi sebenarnya.
Periode 1923–1930
Penangkapan dan penahanan Tjokroaminoto selama tujuh bulan menghilangkan kepercayaan kalangan Sarekat Islam terhadap pemerintah Belanda. Akibatnya, pada tahun 1923 berkembang sikap non-kooperatif (NONKO) terhadap Volksraad, dipengaruhi oleh ide Agus Salim yang terinspirasi dari ajaran Mahatma Gandhi tentang ‘SWADESHI’ (kemandirian: sebuah gerakan yang menganjurkan penggunaan sumber kekuatan sendiri). Dengan demikian, SI (PSIHT) berkembang menjadi dua kelompok yaitu kooperatif dan non-kooperatif.
Pada kongres Sarekat Islam di Madiun, selain memutuskan bahwa CSI berubah menjadi Partai Sarekat Islam, juga dibahas kemungkinan PSI untuk tidak berpartisipasi dalam Volksraad. Kongres CSI yang berlangsung pada 17–20 Februari 1923 menghasilkan keputusan-keputusan penting antara lain:
- Menetapkan disiplin partai terhadap P.K.I.
- Menetapkan sikap non-kooperatif terhadap Pemerintah Belanda.
- Mengganti SI menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Timur.
- Memperbaharui formulir Bai’at.
Pada kongres tersebut, Agus Salim mengangkat masalah politik non-kooperasi yang dijalankan Mahatma Gandhi di India dengan gerakan Swadeshi, dan menyarankan agar politik ini diterapkan untuk melawan Belanda. Partisipasi PSI dalam Volksraad tergantung pada kemauan Belanda untuk mengembalikan nama baik Tjokroaminoto. Kalangan Sarekat Islam menganggap bahwa pembebasan Tjokroaminoto tidak cukup untuk mengembalikan citra ketuanya, oleh karena itu kompensasi yang dapat diterima adalah pengangkatan Tjokroaminoto di Volksraad.
Pada tahun 1926, Bung Karno (Soekarno) dikeluarkan dari SI/PSIHT karena terbukti memiliki ideologi Marhaenisme dan kemudian mendirikan PNI. Bung Karno mengenal HOS Tjokro sejak ia tinggal di rumah Tjokro yang menyediakan pemondokan bagi siswa MULO, HBS, dan MTS.
Sejak tahun 1927, arena politik yang diciptakan oleh pergerakan nasional diisi oleh forum-forum melalui rapat umum, kongres, dan kegiatan ekonomi serta sosial. Media massa mengkomunikasikan kegiatan ini secara luas kepada masyarakat. Dalam hal ini, peranan non-kooperasi, khususnya oleh PNI, Partindo, dan PNI Baru, sangat menonjol. Proses yang terjadi adalah pendidikan politik dan sosialisasi politik bagi anggota partai, yang menghasilkan pemahaman dan kesadaran terhadap konsep kebangsaan, kerakyatan, kemerdekaan, swadaya, dan swadesi. Khususnya, Soekarno memperkenalkan konsep Marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.
Pada tahun 1929, PSIHT diubah menjadi PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) secara resmi lewat Kongres Nasional 1930. Sifat, maksud, dan tujuan Partai S.I. Indonesia mulai jelas ketika Program Asas dan Program Pekerjaan pertama kali ditetapkan dalam Kongres tahun 1917 di Jakarta, kemudian diubah dalam Kongres di Yogyakarta pada tahun 1920, dan akhirnya diubah lagi dalam Kongres di Yogyakarta pada tahun 1930. Program Asas diperluas pemahamannya, dan Program Pekerjaan yang biasanya berlaku beberapa tahun diganti menjadi Program Tandhim yang berisikan arah pergerakan, jalan atau haluan, dan daya upaya yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Program Tandhim ini memiliki kekuatan yang hampir setara dengan Program Asas.
S.M. Kartosuwirjo memberikan analisis kualitatif terhadap pergerakan SI untuk periode 1923–1930 sebagai Zaman Fi’liyah, dengan ciri-ciri:
- Terjun dalam hidup Ma’nawy.
- Menuntut sebanyak-banyaknya amal.
- Orang yang masih hidup pada zaman pertama dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman, mulai tertinggal. Ada yang keluar karena kehendaknya sendiri, ada pula yang terpaksa dikeluarkan karena tidak mampu memenuhi tuntutan zaman kedua.
Periode 1930–1936
Pada tahun 1933, struktur organisasi PSII mencapai kesempurnaan, dengan struktur kepemimpinan pusat yang terbagi menjadi dua: Dewan Partai yang dibentuk oleh kongres partai atau Majelis Tahkim, dan Lajnah Tanfidziyah yang bertanggung jawab kepada Dewan Partai di antara dua kongres. Dr. Soekiman, seorang elit pengurus PSII, dipecat karena masalah administratif keuangan dan ketidakcocokan dalam penyelesaian masalah organisasi. Dia kemudian mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1933.
Pada tahun 1927, Dr. Soekiman sempat mendukung Soekarno dalam upaya mewujudkan persatuan sementara. Ketidakcocokan ideologis menjadi alasan utama Dr. Soekiman mendirikan PII. Beberapa cabang PSII yang tidak setuju dengan pemecatan Soekiman membentuk panitia Persatuan Islam Indonesia dengan dasar Islam, Nasionalisme, dan Swadaya, dan kemudian berkolaborasi dengan PSII Merdeka untuk membentuk Partai Islam Indonesia (PII). Di Sumatera, PII mendapat dukungan kuat dari bekas anggota Permi yang dibubarkan Belanda pada tahun 1936.
Pada tahun 1934, HOS Tjokroaminoto meninggal dunia. PSII kemudian mengembangkan gagasan baru tentang pergerakan Islam dengan munculnya paradigma politik “Sikap Hijrah”. Sikap ini awalnya diartikan sebagai non-kooperasi, tetapi kemudian diubah menjadi sikap aktif dalam menyusun dan memperkuat diri dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Pada Kongres Nasional ke-22 PSII di Batavia pada 8–12 Juli 1936, tema utama adalah metode perjuangan politik Islam: Kooperatif, Non-Kooperatif, atau Pola Hijrah. Keputusan-keputusan penting termasuk:
- Presiden PSII terpilih adalah Abikoesno.
- Sekjen merangkap wakil adalah S.M. Kartosuwiryo, dengan tugas membuat Brosur Hijrah.
- Kongres menetapkan bahwa Sikap Hijrah adalah pola perjuangan PSII.
S.M. Kartosuwiryo memberikan analisis terhadap pergerakan SI untuk periode 1930 dan seterusnya sebagai Zaman I’tiqodiyah, dengan ciri-ciri:
- Hidup Ma’any
- Sadar akan kehidupan dan kewajiban, serta melakukan amal shaleh sebanyak-banyaknya.
- Orang yang masih memegang kehidupan kedua mulai tertinggal jika tidak cepat menyesuaikan diri dengan syarat-syarat hidup yang ketiga.
Periode 1936–1939
Tokoh PSII, Agus Salim, yang mendukung sikap kooperatif/non-kooperatif pada kongres PSII ke-22 tahun 1936, melihat perlunya kerja sama dengan Belanda untuk menolak Fasisme yang berkembang di Jerman, Italia, dan Jepang. Sikap Hijrah PSII menjadi keputusan terkuat. Pada tahun 1937, Agus Salim keluar dari PSII dan mendirikan BPPSII (Badan Penyadar Partai Syarikat Islam Indonesia), bersama tokoh-tokoh lain seperti A.M. Sangaji, Sabirin, dan Mohammad Roem.
Pada Kongres ke-23 di Bandung pada 19–23 Juli 1937, diputuskan untuk mencabut pemecatan anggota yang telah membentuk PII pada tahun 1933, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk kembali ke PSII. Namun, usulan Dr. Sukiman Cs yang meminta PSII melepaskan asas hijrah dan hanya mengurus masalah politik ditolak oleh PSII, sehingga pada awal Desember 1938 di Solo, PII didirikan kembali.
Pada Kongres ke-24 PSII di Surabaya pada 30 Juli — 7 Agustus 1938, S.M. Kartosuwiryo menjelaskan bahwa Hijrah adalah sikap positif dan pembangun yang berbeda dari non-kooperasi. Pada tahun 1938, tuntutan politis untuk membentuk pemerintahan sendiri muncul, dan organisasi GAPPI (Gabungan Politik Indonesia) dibentuk. Abikoesno, presiden PSII, menggabungkan partai ke dalam GAPPI, yang dianggap tidak konsisten dengan keputusan kongres.
Pada Januari 1939, S.M. Kartosuwiryo menolak bergabung dengan GAPPI dan menyatakan tetap konsisten dengan sikap Hijrah PSII. Dia keluar dari PSII yang telah berintegrasi dengan GAPPI dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK PSII) dengan dukungan dari 7 cabang. Pada bulan Maret 1940, KPK PSII mengadakan rapat di Malangbong, Jawa Barat, dan menyatakan tekad untuk melanjutkan politik Hijrah.
Penutup
Kemampuan menegakkan yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah yang munkar (kejahatan) merupakan prasyarat utama untuk membangun tata sosial-politik yang berorientasi pada keadilan. Ibnu Taimiyah dalam as-Siyasa asy-Syar’iyyah menulis bahwa organisasi politik sangat penting bagi kehidupan sosial manusia. Tanpa dukungan organisasi, agama tidak akan berdiri kokoh. Allah SWT mewajibkan kerja amar ma’ruf nahi munkar, dan menolong pihak yang teraniaya. Semua kewajiban seperti jihad, keadilan, dan penegakan hukum hanya bisa sempurna dengan kekuatan dan kekuasaan. Dr. Abdul Karim Zaidan menyimpulkan pandangan Ibnu Taimiyah bahwa menegakkan Daulah Islamiyah (Negara Islam) merupakan kewajiban untuk melaksanakan hukum-hukum syariat.
Dengan memberikan landasan Islam pada organisasi SDI yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam dan akhirnya Partai Sarekat Islam Indonesia, pemikiran politik para pendahulu menunjukkan representasi pemikiran yang Quranis. Organisasi ini didirikan tidak berdasarkan etnis, warna kulit, atau strata sosial, melainkan berdasarkan Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Semangat para pendahulu ini harus dijadikan teladan oleh generasi sekarang dalam segala kiprah sosial.
Sumber:
- H.O.S. Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangan, Amelz, Bulan Bintang (Jilid 1). Bai’at PSII: Asyhadu allailaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah Wallahi. Demi Allah! Sesungguhnya saya masuk menjadi anggota Partai Syarikat Islam Indonesia dengan ikhlas dan suci hati…
- Neratja, 1 Maret 1923, menyatakan bahwa Partai Sarekat Islam hanya diwakili dalam Volksraad oleh Tjokroaminoto sebagai bentuk kekecewaan terhadap penahanannya. Agus Salim menggunakan bahasa Melayu dalam pidatonya di Volksraad sebagai protes (Neratja, 17 November 1923; Deliar Noer, op.cit., hal. 150).
- Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, LP3S, Jakarta.
- Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafity.
- Brosur Sikap Hijrah PSII.
- Mukayat, Haji Agus Salim, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, hal. 51.
- Para pimpinan PII banyak dari kalangan Muhammadiyah dan JIB. Kongres pertama pada 11 April 1940 di Yogyakarta melahirkan pengurus besar (AK. Pringgodigdo, hal. 147–148).
- A.K. Pringgodigdo.
- DR. Syafii Ma’arif, hal. 190, 1996.